JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani melawan ahli waris Kuto Nasution. Alhasil, negara lolos dari hukuman ganti rugi Rp199 miliar. Bagaimana ceritanya?
Sebagaimana dirangkum detikcom dari berkas putusan yang dilansir website
Mahkamah Agung (MA), Rabu (29/3/2023), kasus itu bermula saat ada kebijakan
pemerintah soal penggalakan ekspor pada 1950. Tujuannya untuk meningkatkan
devisa negara.
Salah satu perusahaan yang mendapatkan fasilitas kebijakan itu adalah
perusahaan perdagangan karet, CV Wangidjaya Trading Co. Duduk sebagai Dirut CV
Wangidjaya Trading Co adalah Kuto Nasution.
Dalam kurun 1958, CV Wangidjaya Trading Co melakukan ekspor karet
senilai GBP 11 juta. Ekspor ini ke Inggris, Norwegia, Hong Kong, Belanda, dan
Singapura sebagai negara transit.
Setahun setelahnya, Kementerian Keuangan (kala itu bernama Lembaga
Pembayaran Alat-alat Luar Negeri) menangkap Kuto Nasution. Kemenkeu kemudian
menagih piutang CV Wangidjaya Trading Co ke perusahaan di Singapura. Tetapi
pihak importir menolak karena perjanjian jual beli dengan CV Wangidjaya Trading
Co.
Tiga tahun setelahnya atau pada 1962, Pengadilan Ekonomi Jakarta
menjatuhkan vonis bebas kepada Kuto Nasution.
"Membebaskan Terdakwa dari apa yang dituduhkan dan dituntutkan
terhadap dirinya. Menetapkan/memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri
Djakarta up Djaksa Ekonomi Anas Jakoeb, SH, mengembalikan keseluruhan
barang-barang yang bergerak dan tidak bergerak serta uang-uang seperti dalam
keadaan semula kepada Terdakwa ataupun kepada yang berhak".
Meski akhirnya divonis bebas, Kuto Nasution mengalami kerugian materiil,
yaitu tagihan perdagangan karet menjadi amblas. Terhitung sedikitnya GBP 2,5
juta. Hingga Kuto Nasution meninggal dunia, ganti rugi itu tidak kunjung
diterimanya dari negara.
Pada 2014, ahli waris Kuto Nasution mengajukan gugatan ganti rugi kepada
pemerintah lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Singkat cerita,
gugatan itu dikabulkan. Pada 14 Desember 2014, PN Jakpus menghukum Kemenkeu
membayar Rp748 miliar.
Putusan ini dikuatkan di tingkat banding. Di level kasasi, Mahkamah
Agung (MA) menurunkan nilai ganti rugi yang dijatuhkan.
"Menyatakan Tergugat (Kemenkeu) telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp199.821.818.945,"
putus majelis kasasi yang diketuai Mahdi Soroinda Nasution dengan anggota Yakup
Ginting dan Panji Widagdo.
Menkeu tidak terima dan mengajukan PK. Namun MA menolak PK itu pada
2019. Mengantongi putusan itu, ternyata ahli waris Kuto Nasution masih belum
bisa mendapatkan pengembalian Rp199 miliar dari negara.
Hingga pada Januari 2022, Kemenkeu kembali mengajukan PK yang kedua.
Keadaan berbalik arah. Apa hasilnya?
"Kabul PK ke-II. Batal putusan Nomor 327 PK/Pdt/2019. Mengadili
kembali menyatakan putusan No 327 PK/Pdt/2019 tanggal 31 Juli 2019 tidak
mempunyai kekuatan hukum. Menguatkan putusan No. 186 /1977.G tanggal 16 Januari
1979," demikian bunyi putusan PK kedua yang dilansir website MA.
Di mana Putusan Nomor 186 /1977.G memutuskan 'menyatakan penggugat
ditolak dalam gugatannya'. Putusan perkara 23 PK/PDT/2022 ini diketok oleh
ketua majelis I Gusti Agung Sumanatha, dan anggota Pri Pambudi Teguh, dan
Syamsul Ma'arif.